Pdt.Gunawan Panjaitan.MSi
1.Iman Kristen bersifat universal (hatopan) terbuka bagi siapa saja dalam keadaan status apapun. Pokok pikiran itu diajarkan Paulus dengan mengatakan “barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan”. Kata “barang siapa” (everyone) menunjukkan makna universal iman Kristen, sebab “barang siapa” itu adalah Yahudi, Yunani, semua bangsa atau etnis ,kaya atau miskin, besar atau kecil, di kota atau di desa, yang mulia atau yang hina, yang elite atau yang bersahaja dst, semuanya adalah sama bila berseru kepada Tuhan akan diselamatkan. Konsep ini membuka pikiran orang Yahudi tentang kefanatikan mereka di era Perjanjian Lama yang mengikrarkan bahwa di luar Israel itu bangsa kafir. Firman ini juga mengajarkan bahwa Allah juga memilih orang-orang dari bangsa lain untuk diselamatkan di dalam Kristus. Sekalipun demikian kita jangan merasa sombong dengan keselamatan yang kita miliki (bdk Roma 11) tetapi hendaknya mendorong kita untuk semakin rajin memberitakan Injil. Kedaulatan Allah hendaknya disertai dengan tanggung jawab manusia melakukan penginjilan.
2.Universalitas karya Allah adalah bahwa Kristus itu adalah Tuhan bagi semua orang (umat pilihan-Nya) tanpa pandang bulu. Hal ini mengandung unsur kekekalan di dalam kemurahan hati-Nya dan bersifat aktif, bukan pasif. Kemurahan hati itu ditunjukkan kepada barang siapa yang berseru, atau memanggil namanya. Memanggil nama Tuhan bukanlah hal yang gampang pada masa kekaisaran Romawi. Berseru kepada Tuhan pada masa Kekaisaran Romawi itu berarti “maut”. Waktu itu orang-orang Kristen dianiaya dengan ancaman bahwa jika mereka menyebut nama Allah selain Kaisar sebagai “tuhan”, mereka akan mati. Dengan kata lain, Paulus ingin menguatkan iman orang Kristen di Roma bahwa meskipun mereka harus mati karena menyebut dan berseru kepada-Nya, mereka akan tetap diselamatkan. Sebuah keadaan yang sangat berbeda dengan kita sekarang di mana aman saja berseru kepada Tuhan.
3. Berbicara itu berlian (speak is diamon) itulah nilai yang diberikan kepada orang yang berseru dan menceritakan firman Tuhan. Orang yang “berseru kepada nama Tuhan” yaitu mereka yang mengaku dengan mulut (tidak diam saja) dan percaya dalam hati di dalam kebangkitan Kristus. Jadi, ketika seseorang “berseru kepada nama Tuhan” berarti orang tersebut tidak berseru dengan seruan yang kosong, tetapi dengan seruan yang berisi iman dan pengharapan kepada janji-janji Allah di dalam keselamatan di dalam Kristus. Tetapi apakah cukup hanya berseru saja? Tidak!. Di ayat 14 dan 15, Paulus menyampaikan suatu urutan yang jelas dari belakang (berseru kepada-Nya) sampai ke depan/inti, yaitu pengutusan pemberitaan Injil (“diutus”—ayat 15). Mari kita simak satu per satu.
Paulus mengatakan bahwa seseorang bisa berseru kepada-Nya, bila ia percaya. Tanpa seseorang percaya, tak mungkin ada kerinduan hati untuk datang kepada-Nya dan berseru. Masalah yang terjadi pada orang-orang Yahudi adalah mereka terlalu banyak “berseru” kepada-Nya bukan merupakan luapan dari iman mereka, tetapi karena mereka bersungut-sungut. Bagaimana dengan kita? Ketika kita berseru, apakah seruan kita keluar dari luapan iman kita yang bersandar dan berharap total kepada Allah ataukah seruan kita menjadi seruan kosong dan emosional atau yang lebih parah lagi, seruan kita adalah seruan bersungut-sungut seperti bangsa Israel dahulu?
Paulus melanjutkan urutannya, yaitu bagaimana seseorang bisa percaya kepada-Nya jika ia tidak mendengar tentang Dia. Di sini, ada kaitan antara mendengar Kristus dan percaya kepada-Nya. Ketika seseorang mendengar Firman Kristus, dari situlah timbullah iman sejati (Rm. 10:17). Mengapa Paulus menggunakan kata “mendengar” bukan melihat atau merasakan atau meraba? Karena “melihat” dan “merasakan”/“meraba” lebih bersifat menyesatkan karena itu bersifat fenomenal, sedangkan mendengar meskipun bisa menyesatkan, tetapi intensitasnya kecil, mengapa? Karena ketika kita mendengar, kita mengolah di dalam pikiran terlebih dahulu, sedangkan ketika kita melihat atau merasakan sesuatu, kita hampir tidak pernah memasukkannya ke dalam pikiran. Kita bisa terpukau karena kita melihat atau merasakan, tetapi ketika kita mendengar, kita dituntut untuk aktif. Dan yang unik, kata “mendengar” dalam ayat ini di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk aktif (bukan pasif). Berarti, kita aktif mendengar Firman Tuhan, dan pada saat itu Roh Kudus bekerja mencerahkan hati dan pikiran kita sehingga kita percaya dan bertobat. Bagaimana dengan kita? Seberapa sering dan rindunya kita terus mendengar kebenaran Firman Tuhan? Apakah kita sudah cukup puas jika kita sudah belajar theology atau berdikusi tentang firman itu? Kita diajak belajar terus dengan mendengarkan pendalaman kebenaran Firman Tuhan.
Paulus melanjutkan bahwa bagaimana seseorang bisa mendengar tentang Kristus jika tidak ada orang yang memberitakan-Nya. Di sini, satu langkah lebih dalam lagi, yaitu orang bisa mendengar Injil jika ada orang yang memberitakan Injil Kristus. Jika ada “Orang yang memberitakan-Nya” (preacher) yang bertujuan untuk membawa orang-orang yang tersesat kembali kepada Kebenaran Allah di dalam Kristus. Paulus memberikan inti permasalahannya yaitu bagaimana mereka bisa memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus. Kata “diutus” dalam Yunani: apostellō berarti set apart (=dipisahkan). Kristus mengutus kita untuk menjadi saksi-Nya dengan cara memisahkan kita terlebih dahulu dari dunia dan segala konsepnya yang berdosa. Menjadi saksi Kristus berarti menjadi terpisah dari semua konsep dunia berdosa (Roma 12:2).
4.Allah tidak pernah memaksakan orang untuk percaya, melainkan memberikan kehendak bebas untuk percaya atau tidak. Sejarah pekabaran injil sejak jaman Perjanjianlam menunjukkan bahwa penolakan akan pemberitaan Firman Tuhan selalu terjadi. Penolakan bangsa Israel bisa menjadi berkat bagi bangsa lain. Sangat penting kita sadari ini, penolakan yang kita lakukan untuk mengerjakan pelayanan bisa menjadi peluang berkat bagi orang lain sehingga kita tidak kebagian berkatnya lagi.