(Johannes 1: 19 – 28)
Kerendahan hati, itulah inti yang mau dikatakan kepada kita pada saat ini. Masihkah kerendahan hati itu kita miliki sekarang? Satu persoalan yang sering terjadi di dalam kehidupan ini adalah ketika kita sudah terkenal atau mempunyai nilai lebih dari orang lain, atau pun ketika kita sudah mencapai posisi puncak di dalam sesuatu pekerjaan, bisa saja kita jatuh ke dalam kesombongan. Satu contoh misalnya, ada seseorang mempunyai kesempatan menjadi pemimpin di dalam suatu organisasi, lalu dengan demikian dia memimpin dengan sesuka hati. Atau orang yang mempunyai harta yang banyak, lalu dia mengatur semua orang dengan kekayaannya dan dengan sesukanya juga.
Yohanes sebenarnya punya kesempatan seperti itu. Apa sih kekurangannya kalau dia mengaku bahwa dia adalah Mesias? Tapi ketika orang lewi menanyakan:”Siapakah engkau?” dia menjawab: “Aku bukan Mesias.” (ay. 19-20). Atau dia mengaku sebagai Elia, atau “nabi yang akan datang” (ay.21), namun semuanya itu dia jawab dengan “Bukan!” (ay.21-22). Artinya, dari ukuran pandangan orang lain, dia layak disebut sebagai Mesias, sebagai nabi Elia, atau pun sebagai nabi yang akan datang. Namun dia tidak melakukan itu.
Justru dia hanya mengaku bahwa dia hanyalah: “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan! Seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya” (ay. 23), intinya pertama adalah: “aku hanyalah suruhan Allah”. Kedua, Dia (Yesus), yang datang kemudian dari pada aku: “Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.”
Itulah yang saya sebutkan dengan kerendahan hati. Tidak menyombongkan diri, tidak merasa lebih hebat dan tidak menggunakan kesempatan itu untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena itu, Advent ketiga ini mengingatkan kita untuk selalu rendah hati. Sebab kita hanyalah alat Tuhan untuk memuliakan nama-Nya di dunia ini, sebagai apa pun kita. Persipkanlah jalan bagi Tuhan. Syalom. Amen!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar