Pdt.Gunawan Panjaitan.STh.MSi
Hikmat berbeda dengan intelektual. Intelektual adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang karena ada proses belajar dan meneliti berbagai ilmu pengetahuan. Sedangkan hikmat adalah kemampuan manusia untuk mencari yang benar, yang tepat dan paling akhir. Hikmat juga adalah kemampuan untuk memisahkan yang baik dari yang tidak baik yang didasaran pada pemahaman dan ilmu pengetahuan, sehingga dapat dinyatakan dalam tindakan. Hikmat dipercaya pemberian Tuhan. Banyak orang dalam sejarah yang disebut cerdasa dan intelek teapi tidak berhikmat, misalnya Pontius Pilatus yang megadili Yesus, atau Adolf Hitler pemimpin Nazi atau Saddam Husein pemimpin Irak. Mereka cerdas tetapi tidak berhikmat, karena menurut standarnya orang berhikmat adalah seperti dalam Ayub 28:20 “takut akan Tuhan, itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan itulah akal budi."
Hilmat itu berasal dari Allah, dan untuk mendapatkannya kita hendaknya bersahabat dengan Allah melalui firmanNya. Hikmat tidak dapat diperoleh dengan kekayaan material dan harta benda (Ayub 28:15-19), Hikmat juga tidak datang dari roh – roh lain (ay 23). Ayub mengetahui apa yang sudah terjadi dalam hidupnya hanya dapat dimengerti oleh hikmat yang dari Allah sehingga tidak ada alasan untuk menggurui Allah atau menyalahkan atas tindakanNya. Ayub mengatakan : Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian (Ayub 12:13). Dalam 1 Raja 4:29 kita juga menemukan bahwa “Allah memberikan kepada Salomo hikmat dan pengertian yang amat besar, serta akal yang luas seperti dataran pasir di tepi laut”. Bila hikmat berasal dari Allah, maka apakah yang perlu kita nyatakan dalam kehidupan kita sehari-hari?
Ayub menyatakan bahwa “Takut akan Tuhan “ itulah cirri-ciri dari orang yang berhikmat. Pernyataan seperti ini tidak hanya diungkapkan Ayub, tetapi Mazmur dan Amsal (Maz 111:10; Amsal 1:7). Bila kita ingin berhikmat kita harus takut pada Allah. Kita takut karena Allah akan menghukum orang berdosa. Bila kita masih takut akan hukuman Allah maka kita akan terdorong, bersemangat untuk mentaati pertintahNya. Kita akan lebih hati-hati dalam melangkah, mengambil keputusan dan mengucapkan sesuatu. Takut itu bukan menjauhkan diri tetapi membuat kita menghormati dan melakukan apa yang diperintahkan Allah.
Dalam Amsal 31:26 kita temukan bagaimana perempuan berhikmat : “Ia membuka mulutnya dengan hikmat, pengajaran yang lemah lembut ada di lidahnya.” Perempuan berhikmat pertama sekali diukur dari apa yang diucapkannya. Ada kata-kata bijak berbunyi ”jika tidak bisa berkata sesuatu yang baik, jangan berkata apapun”. Perempuan berhikmat itu hendaklah berbicara tetapi , bukanlah berarti bawel dan cerewet sepanjang hari. Juga bukan berarti harus menang bicara dalam dalam setiap perdebatan. Sifat manusia adalah sering sulit untuk mengalah kalau merasa diri kita benar. Kita selalu berusaha membuktikan bahwa kita benar malahan kita berlaku salah- sikap yang salah, perkataan yang salah, pikiran yang salah, motivasi yang salah dan karakter yang salah, ketika mempertahankan kebenran kita. Wanita amsal 31:26 tidaklah demikian. Itulah mengapa perkataannya lembut, bijaksana dan penuh rasa simpati. Ia tahu kata-katanya adalah suatu hadiah—untuk memberikan nasehat dan arahan. Ia tahu ada waktunya untuk diam dan ada waktunya untuk berbicara. (Pengkotbah 3:7) Ia tahu kebijaksanaan untuk cepat mendengar dan lambat berkata-kata. (Yakobus 1:19). Ia menjadikan perkataannya mata air kehidupan. (Amsal 10:1). Marilah kita mengambil waktu untuk kehidupan rohani kita supaya semakin berhikmat. Kita menyuskuri Himat Allah yang diberikan kepada kita karena hikmat yang dari Allah melampaui kemampuan intelektual kita. Kita menjaga nyala hikmat itu dengan persekutuan, pujian dan ucapan syukur kepada Allah.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar