Rabu, 06 Agustus 2008

Beriman Dalam Liturgi Ibadah

Oleh: Pdt.Gunawan Panjaitan.STh,MSi*


Pendahuluan
Sejak Awal Tahun 1980-an terjadi kritik besarbesaran terhadap Liturgi gereja -gereja mainstream. Inti kritik itu adalah bahwa liturgi gereja-gereja ini terlalu monoton dan membosankan. Kritik ini bersamaan dengan mulainya warga jemaat meninggalkan kebaktian-kebaktian di gerejanya dan masuk kedalam kebaktian yang disebut kebaktian kharismatik. Yang dimasud kebaktian kharismatik adalah kebaktian yang nyanyiannya pendek-pendek, bersipat pop, dinyanyikan berulangulang, dipandu oleh song leader, dihangatkan oleh peranan MC yang selalu menafsirkan nyanyian itu, dan tentu disemarakkan oleh iringan musik yang ceria dengan volume sound system yang besar. Dalam kebaktian kharismatik unsur-unsur liturgi tidak lagi diperhatikan, tetapi seluruh ibadah diarahkan untuk mempersiapkan diri mendengarkan khotbah. Permasalahan kita adalah kenapa ibadah kita disebut mereka monoton dan membosankan?

Budaya Massa dan konsumen

Seiring dengan masuknya globalisasi ekonomi sejak decade tahun 1980 terciptalah suatu budaya massa dan budaya konsumen yang menjadi ciri dari masyarakat yang baru dan umumnya terjadi di perkotaan. Kota menawarkan begitu banyak kemudahan, tidak hanya pada sektor barang dan jasa, tetapi juga berbagai kenikmatan dunia. Kemudianm muncul gaya hidup yang hedonis yang mementingkan kenikmatan secara berlebihan. Manusia menginginkan segala sesuatu yang cepat saji dan instan sehingga tercipta budaya massa dan budaya konsumen.

Perobahan ini juga mengakibatkan kemunduran pada musik. Musik yang dikenal dan yang dikonsumsi masyarakat tidak lagi bersifat seni. Proses industri sudah membuka seni menjadi desain industri. Terciptalah lagu-lagu instant yang gampang dikomsumsi dan diproduksi secara massal. Hal inilah yang mulai mempengaruhi kehidupan musik gereja Batak. Nyanyian-nyanyian rohani diciptakan berdasarkan proses industrialisasi yang sifatnya mudah dimengerti oleh masyarakat pada umumnya. Kaidah-kaidah musik yang ada dalam musik barat tidak dipakai lagi. Tidak perlu ada kaidah-kaidah musik seperti: messo forte, piano, stakkato dll. Kemudian muncul sikap yang mereduksi nilai musik bercorak barat itu dan hal itu membuat nyanyian yang kita miliki di gereja dianggap tidak cocok lagi. Inilah salah satu factor yang melatarbelakangi keluarnya warga jemaat dari gereja-gereja Batak. Gaya musik yang bersifat “mass culture”, menggairahkan, dekat dengan suasana hedonistic menjadi pilihan yang paling tepat. Searah dengan ini jugalah agama mulai dilihat menjadi komoditas. Banyak orang berpikir datang beribadah di gereja untuk mendapatkan perasaan nyaman emosional yang hampir sama dengan pengisian waktu luang.

Gerakan Kharismatik.
Perpindahan anggota jemaat juga akibat gerakan kharismatik yang muncul sebagai hasil dari proses industrialisasi itu. Dasawarsa 1980-an dimana gerakan ini mulai mencari bentuk dan terjadi disorientasi. Dari dalamnya lahir banyak aliran-aliran yang menekankan ajaran tertentu dan bahkan sering bersifat sensasional.

Salah satu ajaran yang tumbuh adalah pujian & penyembahan yang disusul dengan ajaran kemakmuran (Jonggi Cho) sebagai buah Word of Faith (Kenneth Hagin), kemudian bangunnya ajaran Signs & Wonder (John Wimber). Di tahun 1988 timbul sensasi Akhir Zaman yang ramalannya di ulang-ulang di tahun 1992, 1994, 1998 dan 2000. Dasawarsa 1990 masih menonjolkan ajaran kemakmuran dan pertumbuhan gereja, dan kemudian diselingi sensasi Toronto Blessing (1994-1996), kemudian menjelang milenium ketiga, lahir gerakan Doa Transformasi Kota . Gerakan ini kemudian melanda ke seluruh dunia dan mendatangkan kontroversi. Beberapa tokoh mereka meng-klaim diri sebagai rasul-rasul khusus pada akhir zaman ini untuk penyatuan umat Kristen di luar tembok denominasi. Mereka juga membuat konsep pengajaran mengenai peperangan spiritual (spiritual warfare), pemetaan spiritual (spiritual mapping), dan roh-roh teritorial (teritorial spirits). Mereka sangat menekankan peran pendoa syafaat (intercessor) yang memilik kuasa dalam mengubah kota-kota bila dilakukan bersama. Semuanya kita rasakan tidak Alkitabiah.

Seperti biasa mereka juga menampilkan kesaksian-kesaksian ‘success story’ yang penuh dramatisasi, dibesar-besarkan dan sarat dengan klaim-klaim. Banyak perubahan di dunia mereka klaim sebagai hasil ‘kuasa doa & pendoa syafaat’. Memang menakjubkan bagi orang biasa, tetapi bagi orang yang bisa berfikir seharusnya melihatnya dengan kritis. Bayangkan kalau kita mendengar klaim-klaim seperti ‘Open Doors berdoa selama 7 tahun sehingga runtuhlah tembok Berlin; Doa diseluruh dunia menghindarkan pertumpahan darah dalam pemilu multi partai di Afsel;

Kita tahu bahwa Tembok Berlin rontok karena intensnya usaha pemerintah dan rakyat Jerman selama bertahun-tahun dalam usaha penyatuan negara di tengah proses global dimana komunisme sudah gugur dan rontoknya negara Rusia dan persemakmurannya. Mereka menganggapnya sekedar sebagai hasil doa sekelompok pendoa syafaat. Hal ini jelas manipulasi sejarah. Afrika Selatan memang mengalami pemilu yang tidak berdarah, tetapi meletakkan hal ini sebagai hasil pendoa syafaat di seluruh dunia berarti meremehkan arti perjuangan Nelson Mandela dan partainya dan usaha uskup Desmond Tutu yang puluhan tahun dengan jalan damai berjuang melawan apartheid. Dan banyak lagi contoh yang sama mengenai klaim-klaim mujizat doa.

Gerakan-gerakan ini berpengaruh sangat luar biasa dan anggota jemaat kita banyak yang tertarik dan kemudian menjadi alasan pindah gereja. Mereka menyebut gereja mereka “kantong kulit yang baru” yang dapat menampung anggur yang baru dan gereja-gereja mainstream disebut “kantong kulit yang lama” yang akan robek apabila diisi anggur yang baru. Dikatakan Gereja kita tidak menyentuh, khotbahnya tidak menggetarkan hati, ajarannya kuno dsb

4. Haruskah Pindah Gereja ?

Gerakan-gerakan khatismatik adalah jemaat yang tidak mengenal liturgi. Kehidupan kerohaniannya tidak berkaitan dengan liturgi sedangkan gereja aliran utama (main stream churches) adalah jemaat liturgis yang hidup berimannya dirayakan dalam liturgi dengan demikian ekspressi imannya dibentuk oleh liturgi. Didalam liturgi kita bertemu dengan dengan Allah.. Pelayan Ibadah kita percayai sebagai pihak yang mewakili Allah, sehingga bukan keinginannya yang diperintahkan kepada jemaat tetapi keinginan Allah. Ketika pelayan ibadah mengajak bernyanyi atau mengajak suasana yang lebih meriah hal itu kita maknai ajakan dari Allah. Dalam liturgi perotabatan didasari atas pertolongan Roh Kudus dan tak perlu dipengaruhi oleh alat musik dan peralatan teknis supaya bertobat.

Dengan demikian ibadah kharismatik hanyalah merupakan suatu fariasi dari pada peribadatan dan sifatnya kontemporer . Nyanyiannya juga kontemporer dan mungkin persekutuannya juga. Kalau memang kita hanya butuh fariasi dalam beribadah tidak perlu kita meninggalkan gereja kita. Kita dapat buat sendiri fariasi itu. Bagi kita gereja adalah kudus adanya. Pergi ke gereja bukan hanya untuk memuaskan keinginan kita, tetapi bentuk keterikatan kita dengan Tuhan dengan sesama orang percaya. Tiap orang percaya adalah gereja (1 Korint 6:19) dan persekutuan orang percaya adalah gereja . Dalam rangka persekutuan itu kita butuhkan tempat khusus yang kita sebut dengan Gereja (gedungnya) . Semuanya itu tinggal dalam Gereja Yang Mulia yaitu Yesus Kristus Sendiri yang mengatakan Tubuhnya adalah Gereja (Yoh 2:19-21).


*Pendeta NHKBP Surabaya

Tidak ada komentar: