Kamis, 23 Oktober 2008

Mengasihi Musuh

Matius 5: 38-48
1. Manusia dengan gigi ompong, mata buta atau mempunyai satu tangan alias cacat adalah keadaan tidak sempurna, tidak enak dilihat dan mengundang keprihatinan. Hidup kita akan seperti itu jika hukum pembalasan diterapkan yaitu mata-ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa. Akibatnya kita akan tinggal di dunia yang ompong, dunia yang buta dan pincang. Masysrakat akan semakin gila bila hukum pembalasan yang kaku tersebut diterapkan. Orang Yahudi pun tidak pernah menerapkan hukum itu secara harfiah dalam perjalanan sejarahnya. Hukum mata ganti mata dan gigi ganti gigi hanya bermaksud bahwa kornpensasi yang dibayar sebanding dengan kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan, tak lebih dan tak kurang. Versi modernnya adalah "bemper ganti bemper, rangka besi ganti rangka besi", janganlah ditambah tambahkan menjadi bamper ganti bamper plus gratis biaya belajar dua tahun , atau uang kejut/trauma 1 tahun, gratis bensin 5 bulan dll.

2. Membangun kehidupan yang indah dan bahagia tidaklah dengan hukum pembalasan. Hidup bukanlah untuk diri sendiri tetapi ada dalam hidup bersama, hidup yang saling terhubung berinteraksi satu dengan yang lain dan dalam interaksi itu kita menyadari tidak ada manusia yang sempurna dan luput dari kesalahan. Dalam pandangan Yesus untuk membangun kehidupan bahagia haruslah membangun gaya hidup yang penuh dengan mengasihi. Mengasihi seperti Bapa disorga adalah milik manusia merdeka. Mengasihi tidak akan terpengaruh oleh latarabelakang keadan orang yang dikasihi. Mengasihi itu sangat luas maknanya sehingga Yesus memberikan contoh-contoh yang agak ekstrim dalam tindakan mengasihi.

3. Yesus mengajarkan beberapa strategi membangun kehidupan yang indah dan baik itu:

a. Membalaskan kejahatan dengan mengasihi.
Yesus pertama menjelaskan hukum agama Yahudi yang bermakna kompensasi yang dibayarkan sebanding dengan kerusakan yang diperbuat: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Yesus mengutipnya dari Keluaran 21:24; Imamat 24:20 dan Ulangan 19:21. Bagi Yesus hukum itu adalah sesuatu yang sangat manusiawi, sangat alami. Tetapi ada hukum yang lebih tinggi lagi nilainya yaitu hukum tidak mamu membalaskan, atau menerima konpensasi atas kerusakan, atau perbuatan yang merugikan dan mempermalukan . Hukum ini akan menghentikan kebencian dan penderitaan manusia. Yesus mengatakannya dengan :
- Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu,
- siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.
- Kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu.
- Siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.

Bila Yesus mengatakan jangan melawan orang yang berbuat Jahat kepadamu itu bukan bermakna membiarkan kita dan keluarga kita menjadi korban kejahatan. Tetapi Yesus mau mengakatakan jangan kamu mejadi hakim atas orang yang berbuat jahat kepdamu, atau menjadi orang yang mengambil tindakan balasan atas kejahatan yang diperbuat orang kepadamu. Yesus lebih menekankan betapa pentingnya kesadaran hukum, sebab Allah memilih hambanya di dunia ini untuk menegakkan hukum.
Kita tau Yesus pernah kena tampar: Kita baca Yohanes 18:22-23 Ketika Ia mengatakan hal itu, seorang penjaga yang berdiri di situ, menampar muka-Nya sambil berkata: "Begitukah jawab-Mu kepada Imam Besar?" Jawab Yesus kepadanya: "Jikalau kata-Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?" Yesus ditampar karena dianggap tidak sopan, lancang memberikan jawaban kepada imam besar. Kita tidak tahu pipi sebelah mana yang ditampar, kiri atau yang kanan, namun yang jelas Yesus tidak menyerahkan pipi yang sebelahnya lagi untuk ditampar. Malah Yesus membela diri dan meminta klarifikasi tentang alasan kenapa dirinya ditampar. Yesus tidak membiatkan dirinya ditampari. Apakah Yesus tidak konsisten dengan ucapannya ?. Ternyata hukum yang mau Yesus katakan adalah tidak membalaskan kejahatan namun tidak membiarkan diri menjadi korban kejahatan.
Kasus menampar ini dimengerti sebagai kasus contoh tindakan kekerasan pada umumnya. Orang yang menjalankan kekerasan sering bukan orang yang merdeka. Mereka melakukannya untuk mempertahankan kekuasaan, kedudukan, perasaan lebih atas, ideologi, atau juga kebalikannya, perasaan ditindas. Orang-orang yang menjalankan kekerasan umumnya terbelit kekerasan yang melembaga. Dan inilah kenyataan dosa yang mengurung manusia. Orang disebut orang berdosa karena terlilit kekerasan yang melembaga ini dan tidak berusaha keluar dan mungkin tidak didorong untuk berani keluar. Padahal orang dapat memilih untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan dan dengan demikian belajar untuk tidak melanggengkan kekerasan

Makna yang sama juga terdapat dalam pernyataan : Siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Dibutuhkan kesedian memberikan tindakan ekstra kehilangan waktu, tenaka mungkin biaya untuk perjalanan lagi, sebab kita memberikan cinta kasih kepada orang yang memaksa itu.

b. Mengasihi Musuh


Kadang banyak memahami pengajaran Yesus ini suatu permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh orang percaya. Seolah-olah Yesus memberikan jebakan kepada muridmuridnya. Kita tahu persis bahwa Yesus menyampaikan hal ini kepada manusia dengan perhitungan manusia dapat melakukan perintah mengasihi musuh dan mendoakan yang melakukan penganiayaan. Sebenarnaya yang paling manusiawi adalah perintah “matikanlah musuhmu dan kutuklah orang yang menganiaya kamu”, ini baru puas. Tetapi kepada Yesus menyuruh hal ini ? Jawabannya adalah demi kesempurnaan. Kita mencintai musuh dan berdoa bagi orang yang menganiaya kita supaya : kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna. Orang percaya berkewajiban menjadi sempurna karena sebelum mengenal Kristus kita adalah munisia yang suka mematikan mematikan musuh. Paulus mengataka: kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya. (Kol 1:21-22)

Menjadi sempurna itu berarti menjadi dewasa karena mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan menjadi sempurna seperti Bapa di sorga itu bermakna mempertebal dalam diri kita sifat mengasihi yang melampaui batas yang dibangun oleh kebencian. Mengasihi keluarga, anak sendiri, istri di rumah, keluarga, orang yang mengasihi kita bukanlah tindakan yang bernilai lebih, tetapi tindakan yang biasa saja dan tidak sempurna. Tetapi dengan mengasihi musuh kita dituntut untuk memperoleh ketajaman batin. Berbagai perilaku yang disebutkan untuk memperlihatkan bahwa pola tingkah laku yang ditentukan ukuran-ukuran "kawan-lawan", "balas-membalas", "memberi dengan perhitungan mendapat kembali" bukan pilihan satu-satunya. Lebih jauh lagi, bahwa sikap mengasihi, menginginkan kebaikan orang lain tanpa terpengaruh oleh kebusukannya, adalah pilihan yang mampu dilakukan oleh Anak-anak Allah yang Maha Tinggi. Kasih yang sempurna adalah ketika mengasihi orang-orang yang membenci kita sehingga kita mengahiri kebencian itu dan membuatnya menjadi episode yang baru. Amin

Tidak ada komentar: