Senin, 09 Juli 2012

PERBAIKI TINGKAH LAKUMU


Yeremia 7:1-7

Pdt.Gunawan Panjaitan.M.SI

Pendahuluan
Yeremia menerima tugas pengutusan dari Allah pada tahun 626 yaitu pada tahun ke-13 pemerintahan raja Yosia. Ketika itu dia masih muda-belia, hatinya berijwa halus dan penuh kasih dan berasa dari keluarga imam. Sejak awal dia diperhadapkan kepada zaman yang tragis bagi bangsa Israel. Pembaharuan di bidang agama dan pemulihan semangat nasional yang diusahakan raja Yosia telah membangkitkan pengharapan baru. Tetapi pengharapan itu hilang setelah raja Yosia wafat. Yeremia menyaksikan kehancuran kerajaan Yahudi. Ia menyaksikan Nebukadnezar merebut kota Yerusalem dan mengangkuti sebagian penduduknya ke Babel (597 SM). Ia menyaksikan pembrontakan yang dilakukan Yehuda pada tahun 587 dan pemberontakan itu dipadamkan oleh tentara Kasdim yang merebut kota Yerusalem, membakar Bait Suci dan membuang penduduk negeri untuk kedua kalinya. Ia menyaksikan raja-raja yang tak berdaya silih berganti menduduki tahta Daud. Semua peristiwa tragis ini disaksikan Yeremia. Ditengah zaman yang penuh dengan permasalahan dibidang politik, hidup keagamaan Yeremia berkhotbah, mengancam, menubuatkan kehancuran bangsa-bangsa.
Allah berfirman kepada Yeremia: "Ketahuilah, pada hari ini Aku mengangkat engkau atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam" (Yer. 1:10). Berita yang disampaikan oleh nabi Yeremia memang sangat tajam, tetapi dia tidak menonjolkan perkataan yang kasar; dia mengemukakan hukuman Allah secara lugas tetapi bukan untuk mendiskreditkan sesama, tetapi bertujuan agar umat bertobat; dia berani menyingkap dosa umat tetapi sekaligus dia memberitakan firman Tuhan yang memberi pengharapan. Secara khusus (7:1-7) dia mengungkap kebrobokan hidup keagamaan bangsa Israel, tetapi bukan untuk menghina umat beragama, dia hanya memberikan pemaknaan kembali korelasi antar ritus-ritus keagamaan dengan kehidupan sosial bermasyarakat dalam berbagai kondisi. Dia tidak melecehkan makna rumah ibadah dan ritus yang ada di sana tetapi mengkritisi praktek kemunafikan umat beragama.

Penjelasan
Kritik terhadap Praktek Keagamaan Yang Dangkal
Yeremia menyaksikan praktek keagamaan yang dangkal di tengah-tengah bangsa Yahudi. Yeremia mengkritik perasaan nyaman beribadah Bangsa Israel. Rupa-rupanya ada imam dan Nabi yang mengkhotbahkan : Ini bait TUHAN, bait TUHAN, bait TUHAN. Mereka mengajarkan bahwa artefak-artefak yang ada di Bait Allah: bangunan bait Allah, tanah perjanjian, peralatan-peralatan peribadatan yang sudah dipakai turun-temurun, dianggap menjadi bukti kehadiran Allah. Artefak itu dipercaya berkuasa mengikat Allah. Kemudian, mereka percaya ritus-ritus peribadatan sejak masuk dari pintu gerbang Bait Allah sampai ke ruang kudus sebagai ibadah yang sempurna.
Tuhan memprotesnya melalui Yeremia dengan mengatakan: “Berdirilah di pintu gerbang rumah TUHAN, serukanlah di sana firman ini dan katakanlah..... perbaikilah tingkah langkahmu dan perbuatanmu, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini” (ay 2-3). Yeremia melihat ritual keagamaan telah menjebak umat Yahudi pada hukum formal tanpa menyentuh/mendalami dan memahami hakekat dari ajaran agama tersebut. Peribadatan menjadi simbol pengakuan pada Yahwe saja. Mereka beribadah tanpa kehadiran Tuhan di sana. Kehadiran Allah hanya diajarkan pada tataran permukaannya. Bangsa itu tidak diajarkan lagi keadilan, kebenaran dan anti penghisapan. Tidak diajarkan bagaimana mencintai, menjaga dan merawat hubungan dengan alam, manusia dan dengan Tuhan. Yeremia melihat ibadah bangsa itu telah kehilangan hakekatnya sebagai alat pembebas manusia dari ketertindasannya. Dengan segala kondisi tersebut ritual keagamaan pada praktek keseharian menjadi alat legitimasi rezim dalam menindas rakyatnya. Menjadi legitimasi pembodohan massal dalam kehidupannya.

Ajaran tentang Ibadah yang sejati
Keadaan ini ingin diperbaiki Yeremia dengan memberitahukan praktek ibadah yang sejati. Ibadah yang benar harus mempunyai korelasi dengan perilaku adil dalam interaksi sosial. Yeremia menyuarakan: “jika kamu sungguh-sungguh memperbaiki tingkah langkahmu dan perbuatanmu... melaksanakan keadilan.... tidak menindas orang asing, yatim dan janda, tidak menumpahkan darah orang yang tak bersalah di tempat ini dan tidak mengikuti allah lain,.... maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini, di tanah yang telah Kuberikan kepada nenek moyangmu, dari dahulu kala sampai selama-lamanya”(ay 5-7 bd. Yak 1:27).

Yeremia menekankan bahwa Israel tidak boleh memiliki dualisme kehidupan, yaitu ketika di bait Allah kelihatan rohaninya luar biasa, namun ketika ia berada di luar kegiatan - kegiatan kerohanian hidupnya tidak berbeda dengan kehidupan orang yang tidak mengenal Allah. Sikap dualisme itu akan membuat mereka kehilangan kesempatan bersama Allah. Yeremia menyuarakan pertobatan orang beragama, sebab orang beragama belum tentu mereka merindukan Tuhan. Umat beragama perlu memperbaharui hidup dengan mengarahkan pandangan terhadap realitas sosial yang ada disekitar bait Allah. Di situ ada pengemis, anak yatim, para janda, kaum miskin dll. Suatu ketika, rasul Petrus dan Yohanes pernah menghentikan langkahnya di Gerbang Indah dan menunda masuk ke dalam Bait Allah. Padahal waktu sembahyang sudah menjelang. Sembahyang atau ibadah itu sangat penting. Namun rupanya ada yang sama pentingnya dengan ibadah dan sembahyang itu: menyapa seorang anak manusia yang terpuruk di realitas hidup (Kis 3:1-10). Yeremia menegur Israel di Gerbang Bait Allah ketika mau beribadah karena mereka tidak perduli malah menindas orang asing, anak Yatim, para janda. Hati mereka cabul.

Renungan
Dalam perjalanan HKBP sebagai Gereja di tengah-tengah bangsa, kita diingatkan akan bahaya praktek keagamaan yang dangkal: Kehidupan Gereja Kita tidak boleh terjebak dalam praktek ritual semata. Kita tidak boleh menyatakan “nungga denggan situtu dalan dohot pambahenannami” dengan ukuran banyak jemaat datang beribadah pada hari minggunya, demikian juga pada ibadah partangiangan dll. Kedangkalan akan menjadikan simbol-simbol keagamaan sebagai satu-satunya ukuran kemajuan. Kemajuan diukur hanya dengan semaraknya acara-acara keagamaan. Di sinilah pentingnya kembali gerakan “melek agama” (religious literacy), sikap cerdas memaknai, mengembangkan, sekaligus menjalankan nilai-nilai iman dalam kehidupan nyata. Kita berharap HKBP ke depan bukanlah Gereja yang tubuhnya besar tetapi dengan tangan yang pendek dan kaki yang pendek. Kita terpanggil memperbaiki tingkah laku dan perbuatan agar menjadi gereja yang mempunyai tangan yang terulur kepada anak yatim, para janda, para orang miskin, tangan harus mampu menjangkau, menyuapi yang ada di sekitarnya. Gereja juga mempunyai kaki yang rajin melangkah, menjangkau daerah-daerah yang belum terlayani. Amin
Pdt.G.Panjaitan.MSi

Tidak ada komentar: